SAHABAT TAK TERDUGA

Sahabat adalah seseorang yang mungkin sangat jarang untuk kita temukan dalam kehidupan kita. Tapi, saat kita menemukannya hidup kita pasti akan terasa lebih lengkap dan terasa indah. Sahabat adalah pelengkap hidup kita selain orang tua dan pasangan kita kelak. Seorang sahabat selalu ada di dekat kita saat suka maupun duka. Mungkin itulah persepsiku mengenai sahabat. Sahabat tak dapat diprediksi kapan dan dimana kita dapat menemukannya. Bahkan siapa orangnya kita juga tak dapat memprediksikannya. Bisa saja sahabat adalah musuh kita sebelumnya. Adapun definisiku mengenai musuh, Musuh adalah orang yang mungkin sangat sering membuat kita marah, kesal, jengkel, dan lain sebagainya, kita membencinya. Namun, ada pada saatnya musuh bisa menjadi teman yang sangat mengerti kita disaat kita dalam keadaan rumit dan kita tak dapat lagi menghadapinya sendiri. Musuh juga pada saatnya bisa menjadi sahabat kita. Mungkin memang pada awalnya musuh adalah orang yang sangat kita benci. Namun, ada saatnya pula perasaan itu berubah dan terkadang berbalik arah, menjadi suka, sayang, bahkan cinta.

Bagiku sahabat juga kakak/adikku, teman bahkan pacarku. Tapi, selama beberapa tahun aku menghirup nafas didunia ini, aku belum bisa juga mendapatkan seseorang yang dapat aku jadikan sebagai sahabat. Kalaupun aku dekat dengan seseorang, mereka belum bisa untuk aku kategorikan sebagai sahabat. Menurutku, mereka belum bisa aku percayai. Tapi, ketika masalah itu menimpa ayahku. Aku mulai menemukan orang yang dapat menjadi sahabatku.

Hari itu, seperti biasanya aku duduk di bawah pohon sambil membaca komik kesukaanku “CONAN”. Aku membaca komik kesukaanku itu dengan suara yang nyaris tak terdengar. Tiba-tiba handphoneku berbunyi akupun segera mengangkatnya.

“Apa benar ini anak dari Bapak Dani?” kata orang yang menelfon itu.

“Iya, benar pak. Ada apa ya?” kataku bertanya.

“Bapak anda kecelakaan nak. Dia menabrak pembatas jalan. Sepertinya dia sangat mengantuk saat mengendarai mobilnya.” Kata orang itu.

Betapa kagetnya aku. Handphoneku jatuh ke tanah bersama dengan komikku itu. Aku segera berlari ke rumahku dan mencari ibuku.

“Ibuuu….. ibuuuuuuuuuuu.” kataku sambil menangis.

Dari kejauhan tampak ibuku yang sedang berlari dari dapur.

“Ada apa nak?” kata ibu kaget.

“Aaaa…ayaa..h.” kataku lagi kepada ibu dengan tangisan yang tak bisa terbendung lagi.

“Kenapa ayah mu? Kata ibu mulai panik.

“Ayah kecelakaan.” Kataku lagi menangis.

Ibu memelukku dengan erat sambil mengusap kepalaku. Dia berusaha menguatkanku walaupun sebenarnya dia lebih sakit dariku.

“Sabar nak. Kita kerumah sakit sekarang.” Kata ibu menenangkanku.

Aku dan ibu pun langsung menelfon pamanku agar segera datang menjemput kami.

“Paman, tolong jemput aku dan ibu sekarang dirumah.” Kataku lewat telephone sambil menangis.

“Ada apa nak? Kenapa kamu menangis.” Kata paman bingung.

“Sudahlah paman, nanti aku jelaskan lebih lengkapnya sekarang jemput kami dulu.” Kataku lagi dengan suara lirih.

“Baiklah, paman berangkat sekarang.” Kata paman sambil tergesah-gesah.

Beberapa menit kemudian paman pun datang. Aku dan ibupun segera lari dari dalam rumah dan langsung ke dalam mobil. Pamanpun segera meluncur ke rumah sakit.

“Lebih cepat paman.” kataku kepada paman.

“Sabar nak. Ini sudah kencang sekali.” Kata paman.

Akupun hanya bisa menunggu sambil terus menangis, sementara ibuku tetap mendekapku erat sambil menenangkanku. Semakin mobil melaju, serasa waktu semakin cepat berlalu.

“Apa masih jauh paman?” kataku lagi.

“Sudah dekat nak. Sabar, ayahmu pasti kuat.” Kata paman meyakinkanku.

Beberapa menit kemudian, mobilpun sampai didepan rumah sakit, aku dan ibu langsung berlari masuk kedalam mencari keberadaan ayahku.

Dari kejauhan, datang seseorang yang dimataku tak terasa asing lagi rasanya. Dia adalah teman sekolahku Akbar. Bisa dibilang dia adalah musuh bebuyutanku disekolah setiap hari aku dan Akbar selalu saja rIbut dan berselisih paham, tapi saat itu dia bagaikan penyelamat ayahku.

“Imha, ayahmu.” kata Akbar kepadaku.

“Iya, aku sudah tau kok, kamu yang membawa ayahku kesini?” kataku lagi.

“Sebenarnya bukan aku yang membawanya kesini tapi ayahku. Karena ayahku mengetahui bahwa itu ayahmu dia menelfonku, akupun segera kesini. Kamu baik-baik saja kan?” kata Akbar sambil memegang tanganku.

“Iya, aku tidak apa-apa terimah kasih ya sudah membawa ayahku kesini.” Kataku lagi sambil tersenyum kearah Akbar.

“Iya, sama-sama kita kan sesama manusia harus saling membantu. Ayo aku antar kekamar rawat ayahmu.” Kata Akbar lagi sambil menarik tanganku dan membawaku kearah kamar rawat ayahku.

Aku berjalan dengan hati berdebar-debar. Aku sangat takut terjadi apa-apa dengan ayahku. Ayah yang sangat aku cintai dan sangat aku sayangi. Sementara ibuku juga cemas tapi masih saja berusaha menenangkanku.

“Tenanglah nak, ayahmu pasti akan baik-baik saja.” Kata ibu.

“Tapi, kalau terjadi sesuatu dengan ayah bagaimana?” kataku sambil menangis.

“Kamu nangis ya Imha? Baru kali ini aku melihat kamu menangis.” Kata Akbar meledek.

“Saat-saat seperti ini kamu masih saja ingin mencari gara-gara denganku.” Kataku mulai marah.

“Hehehe, maaf-maaf aku hanya bercanda makanya jangan nangis senyum dong, kalau senyum kan cantik.” Kata Akbar lagi.

“Yee.. malah ngeledek. Mau berantem ya.” Kataku.

“Heheh tidak bos cuman bercanda kok, supaya kamunya gak nangis lagi.” Kata Akbar.

Aku hanya memasang muka datar tanpa menjawab kata-kata Akbar lagi. Setelah melewati beberapa kamar, sampailah aku didepan pintu kamar rawat ayahku.

“Ini kamar rawat ayahmu Imha. Masuklah, sepertinya ayahmu sudah baikan.” Kata Akbar meyakinkanku.

Akupun langsung masuk kedalam dan mencari keberadaan ayahku. Setelah melihat keberadaan ayahku, rasanya aku ingin menangis. Ayahku terbujur di atas kasur rumah sakit, ibuku langsung ke ayahku dan langsung mendekap ayahku sementara aku masih diam ditempatku tanpa dapat berbuat apa-apa.

“Kenapa diam saja, sana ke ayahmu.” Kata Akbar.

Melihat aku diam saja, Akbar berusaha membuyarkan lamunanku. Dia menepuk pundakku, dan akupun kaget.

“Ada apa?” kataku kaget.

“Kenapa kamu bengong, sana ke ayahmu.” Kata Akbar.

“I..iya.” kataku.

Akupun segera berlari kearahku dan mendekapnya. Ternyata saat itu pula ayahku juga siuman.

“Ayah sudah sadar.” Kata ibu lega.

“Ada apa ini? Ayah baik-baik saja kok.” Kata Ayah.

“Tidak apanya orang kaki ayah sampai diperban seperti itu.” Kataku.

“Ini hanya luka biasa.” Kata Ayah lagi.

“Ayah ini memang gitu ya, saat-saat seperti saja masih saja bercanda.” Kataku.

“Aduh anak ayah yang satu ini, cemas sekali.” Kata ayah sambil mengusap kepalaku.

Akupun semakin mengeraskan dekapanku keayah.

“Nak Akbar kemari.” Kata ayah memanggil Akabar.

“Saya om?” kata Akbar.

“Iya, kamu.” Kata ayah.

Akbarpun menuju kearah ayah dan aku.

“Ada apa ya Om?” kata Akbar kebingungan.

“Terimah kasih ya, sudah menolong om.” Kata ayah berterimah kasih.

“Iya om sama-sama kan kita harus tolong menolong. Lagipula kan om ayahnya Imha.” Kata Akbar sambil tersenyum kepadaku.

“Kenapa kamu senyum-senyum, ada yang lucu ya.” Kataku.

“Tidak kok, tidak ada apa-apa.” Kata Akbar.

“Terus?” kataku.

“Kamu ini Imha, bukannya terimah kasih sama nak Akbar malah memarahinya. Maaf ya nak Akbar, Imha memang begitu.” Kata Ayah.

“Ih ayah.” Kataku cemberut.

“Haha, Imha lucu ya om kalau cemberut.” Kata Akbar mengejek.

“Ye.. kamu ngejek ya.” Kataku.

“Haha, tidak kok. Iya kan om?” Kata Akbar.

“Iya, Imha memang lucu. Ngomong-ngomong kalian berdua satu sekolah kan?” kata Ayah.

“Iya om, malah sekelas.” Kata Akbar.

“Oh ternyata, kalian sekelas. Tapi kenapa selama ini Imha tidak pernah cerita kalau punya teman sekelas namanya Akbar.” Kata Ayah.

“Aduh ayah ini, dia itu musuh aku.” Kataku nyablak.

“Lah, kok musuh? Apa benar nak Akbar.” Kata Ayah.

“Saya juga tidak tau om. Mungkin Imhanya menganggap saya sebagai musuhnya.” Kata Akbar.

“Sudahlah gak usah bahas itu lagi. Bagaimana keadaan ayah sekarang?” Kataku.

“Ayah baik-baik saja nak. Sana ajak Akbar jalan-jalan keluar ada yang mau ayah bicarakan dengan ibumu.” Kata ayah.

“Baiklah ayah.” Kataku.

Aku pun keluar dari kamar rawat ayahku, begitupun dengan Akbar. Dan berjalan-jalan mengelilingi rumah sakit itu.

“Kamu mau ketaman?” kata Akbar menawari.

“Ketaman?” kataku memastikan.

“Iya, ketaman.” Kata Akbar.

“Kamu tidak panaskan, tumben-tumbennya kamu baik sama aku?” kataku.

“Aduh, dimata kamu itu aku memang selalu jahat ya.” Kata Akbar.

“Bisa jadi.” Kataku sambil menjulurkan lidah kearah Akbar.

Akbar hanya tersenyum melihat tingkahku itu. Akbarpun menuju ke kursi taman, akupun memutuskan untuk ikut saja duduk. Menurutku tak ada salahnya juga kalau aku menerima ajakan Akbar, lagipula ditaman aku juga bisa melanjutkan membaca komikku.

Saat aku mengeluarkan komikku, ternyata Akbar juga mengeluarkan komik yang sama juga denganku “CONAN”.

“Eh, kamu ikut-ikutan ya?” kataku.

“Yee.. siapa bilang aku memang hobby membaca komik CONAN. Dirumahku sudah banyak edisi komik CONAN, itu semua aku kumpulkan sejak aku masih SMP.” Kata Akbar.

“Hah? Jadi sekarang komik CONAN kamu sudah berapa?” kataku antusias.

“Haha, antusias banget sih. Mau tau aja apa mau tau banget.” Kata Akbar.

“Yee.. aku serius tau.” Kataku.

“Haha, kalau tidak salah ada 20-an lebih.” Kata Akbar.

“Hah? Apa betul?” Kataku.

“Iyalah untuk apa juga aku bohong sama kamu.” Kata Akbar.

“Aku mau dong baca komik kamu.” Kataku.

“Pinjamin gak ya.” Kata Akbar.

“Ya udah kalau gak mau, gak usah.” Kataku cemberut.

“Aduh, nona manis jangan cemberut dong kan nanti gak cantik lagi.” Kata Akbar.

“Kamu suka banget ya ngeledek, tapi seru juga sih.” Kataku.

Akbar hanya tersenyum kearahku dan dia mulai membuka komiknya dan membacanya. Akupun juga demikian. Aku dan Akbarpun mulai membaca komik masing-masing. Tak terasa mataku mulai mengantuk dan akupun tertidur dibahu Akbar. Tapi Akbar fine-fine saja dan terus membaca komiknya.

Selang beberapa menit, Akbar telah meyelesaikan komiknya. Dan dia membangunkanku.

“Imha, bangun. Ini sudah jam berapa nanti ayah dan ibumu mencari kita.” Kata Akbar.

Akupun langsung bangun dengan kaget, dan langsung mengambil tasku dan berjalan menuju kamar rawat ayahku. Di perjalanan menuju kamar ayahku. Aku dan Akbarpun sempat berbincang-bincang.

“Kamu masih marah ya sama aku?” kata Akbar.

“Menurut loe?” kataku.

“Kalau menurut aku sih kamu marah.” Kata Akbar.

“Tuh udah tau masih nanya.” Kataku.

“Maafin aku deh kalau aku punya salah sama kamu. Selama ini aku suka ngegangguin kamu bukan maksud jahat tapi ingin lebih akrab denganmu. Namun kamu malah nyalah artiin.” kata Akbar.

“Oh gitu.” Kataku.

“Hah? Panjang kali lebar aku bicara jawaban kamu hanya itu?” kata Akbar.

“Terus aku harus bilang apa dong selain itu?” kataku.

“Apa kek responnya. Ngomong-ngomong maafin aku ya?” Kata Akbar.

“Gimana ya?” kataku.

“Gimana? Maafin dong.” Kata Akbar.

“Ya udah iya, aku maafin. Aku juga minta maaf ya kalau aku juga punya salah sama kamu.” Kataku.

“Jadi mulai sekarang. Kita udah gak musuhan lagi kan?” kata Akbar.

“Iya.” Kataku.

Setelah lama berbincang-bincang dengan Akbar, akupun sampai dikamar rawat ayahku. Betapa kagetnya aku saat aku masuk kedalam kamar rawat ayahku, ayahku sudah tak ada disana tinggal suster yang sedang merapikan kasur ayahku.

“Suster ayah dan ibuku kemana?” kataku.

“Oh ayah dan ibu adik sudah pulang baru saja.” Kata suster itu.

“Terimah kasih sus atas informasinya.” Kataku.

Akupun langsung berlari keluar kamar rawat ayahku tanpa sengaja aku menarik tangan Akbar dan berlari bersamaku. Dia hanya tersenyum.

“Ayo sini aku antar pulang.” Kata Akbar.

“Tidak usah terimah kasih tawarannya. Aku bisa pulang sendiri kok.” Kataku.

“Kalau kamu tidak mau dianter sama aku berarti kamu masih marah sama aku.” Kata Akbar.

“Ya udah, iya aku ikut di mobil kamu.” Kataku.

“Ya gitu dong.” Kata Akbar sambil membuka pintu mobilnya.

Akupun masuk kedalam mobil Akbar, Akbarpun menyalakan mesin mobilnya dan menjalankan mobilnya mengantarku kerumah. Karena kami berdua kelaparan, Akbarpun menawariku untuk makan siang dulu di cafe.

“K:amu lapar?” kata Akbar.

“Iya aku lapar nih?” kataku.

“Kita singgah makan dulu gimana?” kata Akbar.

“Gak usah deh, aku makan dirumah saja nanti.” Kataku.

“Sudahlah, itu didepan ada cafe kita makan siang dulu. Itu juga sebagai simbol kalau kita sudah gak musuhan lagi.” Kata Akbar.

Akupun ikut saja dengan Akbar. Aku dan Akbarpun makan siang bersama, tak aku sangka pula makanan kesukaan kami berdua sama, yaitu nasi goreng pedas. Saat aku dan Akbar memesan pelayan menertawai kami berdua.

“Kamu ikut-ikutan lagi.” Kataku.

“Nasi goreng memang makanan kesukaanku sejak kecil.” Kata Akbar.

“Oh ya? Kenapa ya banyak hobby dan kesukaan kita yang sama.” Kataku.

“Mungkin kita jodoh.” Kata Akbar.

“Idih, ora’ sudi jodoh sama kamu.” Kataku.

“Kamu cewek pertama loh yang nggak mau sama aku.” Kata Akbar menyombongkan.

“Aku tidak seperti mereka. Aku ya aku.” Kataku.

“Weitz, aku suka prinsip kamu.” Kata Akbar.

“Makasih.” Kataku.

“Ya sudah ayo makan makanannya nanti keburu dingin.” Kata Akbar.

“Iya.” Kataku.

Aku dan Akbar pun mulai memakan makanan yang kami pesan tadi. Mengenai Akbar, Memang Akbar adalah siswa terganteng disekolahku, bukan hanya teman-temanku yang menyukainya, tapi kakak-kakak kelasku juga banyak yang menyukainya apalagi dia juga pintar dan selalu peringkat 2 umum disekolah.

Selang beberapa menit, makanan aku dan Akbarpun habis dan Akbarpun segera kekasir membayar makanan kami tadi. Dan langsung mengantarku pulang. Dulu aku tidak terlalu tertarik dengannya karena aku memang sering diisengi olehnya, dia selalu mencari gara-gara kepadaku yang katanya ingin akrab dengaku namun salah aku artikan. Tapi, sekarang aku mulai menyadari bahwa dia baik. Dan sejak saat itu aku mulai menemukan sosok sahabat yang aku cari selama ini. Dia adalah Akbar musuhku dahulu.

***Tamat***

#Sitti Fatimah Rauf

Leave a comment